Alun-alun dan Taman Kota

Oleh: Prof. Dr. Hadi Susilo Arifin
Radar Cirebon, Rabu Wage, 10 April 2013.

Tak Perlu Dikotomi Alun-alun dan Taman Kota

Membaca tulisan dengan judul Ingsun Titip Alun-alun Kejaksan dari Drs. Suyanto pada Radar Cirebon, Rabu Kliwon, 27 Maret 2013, serasa secarik surat wasiat bagi anak-putu wong Cerbon. Saya sebagai insan manusia yang dilahirkan di kota Cirebon, dan saat ini berprofesi sebagai guru di bidang Arsitektur Lanskap, rasanya tidak bisa tidak saya punya kewajiban untuk meresponnya.
TULISAN di bawah ini diharapkan tidak memperkeruh dikotomi antara “alun-alun”, nama existing suatu lanskap ruang terbuka yang ada di tengah kota Cirebon dengan judul proyek baru dengan nama “taman kota”. Kedua nama tersebut adalah padanan kata, yang bisa jadi serupa, tapi menjadi tak sama manakala ada pemahaman yang salah bagi pengambil kebijakan/keputusan, atau ketidak-mengertian seorang perencana dan peñata kota.

Alun-alun adalah lahan yang berupa taman yang berpusat di sekitar istana raja atau keraton yang merupakan milik keluarga istana. Struktur lanskapnya beragam, meski pun pada umumnya dalam bentuk hamparan rumput yang luas dan bagian tepinya ditanami pepohonan besar sebagai elemen peneduh. Fungsi alun-alun ini sebagai ruang terbuka yang merupakan bagian dari lanskap kota yang umum digunakan oleh masyarakat sebagai tempat rekreasi. Bisa rekreasi aktif, seperti berolah-raga, arena bermain, tempat latihan baris-berbaris, latihan main drumband, tempat upacara, sampai dengan tempat jalan-jalan, cari angin. Atau rekreasi pasif hanya sekedar duduk-duduk, bercengkerama dengan handai-taulan atau tempat membaca buku di bangku-bangku yang ada di bawah pohon.

Dalam perkembangannya di Jawa khususnya, alun-alun dapat kita jumpai pada setiap pusat kota/kabupaten, hingga pada tingkat kota kecamatan, termasuk ada di pusat kota Cirebon. Saya sangat bangga dengan alun-alun Cirebon dengan hamparan rumput yang cukup luas, meski pun saya lihat pemeliharaannya kurang mendapat perhatian cukup. Memang saya sempat kaget manakala beberapa belas tahun lampau ketika melihat sekeliling Alun-alun Kejaksan dipagar tembok, dengan beberapa gerbang saja sebagi akses ke dalam. Untuk estetika kah, untuk keamanan kah? Sebagai ruang/taman publik, saya lebih suka tidak berpagar seharusnya. Karena batang-batang pohon besar sudah sangat indah dan ramah menjadi pembatas taman kota ini. Saya lebih terperanjat mana kala Alun-alun Kejaksan bukan semata-mata akan berganti nama, tapi yang paling meresahkan jika strukturnya taman publik ini berubah menjadi taman dengan desain yang kurang mengakomodasikan aspirasi dan kebutuhan ruang rakyat Cirebon.

TATA RUANG DI SEKITAR ALUN-ALUN

Alun-alun, dengan karakteristiknya bisa saja menjadi tetenger (landmark) kota. Dalam bahasa Melayu, di Malaysia disebut “padang”, berarti sama sebagai ruang terbuka kota. Yang menarik alun-alun yang ada di kota-kota di Pulau Jawa juga di Madura, penulis melihat pola yang serupa. Setiap alun-alun yang aseli berupa hamparan rumput yang luas yang dikelilingi pepohonan besar. Jenis tanaman pohon tersebut tergantung dari kondisi ekologis kota masing-masing. Ada kihujan atau beringin yang bertajuk besar, lebar, dan teduh. Ada mahoni, ada pohon asam, atau pohon tanjung, cemara laut, atau sederet palm raja. Yang paling khas, baik pada alun-alun kota maupun di tingkat kecamatan, bahwa di bagian barat alun-alun selalu ada masjid sebagai pengarah kiblat. Di sisi selatannya ada pusat pemerintahan, kantor atau pendopo kecamatan, atau pendopo kabupaten/kota. Bagian timur umumnya untuk pusat komersial, jasa dan perdagangan yang sering kita kenal sebagai Pecinan, jika didominasi oleh etnis Tionghoa, atau disebut Kauman jika etnis Arab mendominasi wilayah tersebut. Sebelah utara beragam ruang, kadang ada penjara, atau pusat pendidikan, atau juga sebagian besar permukiman. Tata ruang ini diduga dipengaruhi oleh filosofi pada masa Mataram Islam, pengaruh pendatang dari China, Arab kemudian masuknya kolonial Belanda.

ADA YANG SALAH KAPRAH

Pada konsep barat, tempat serupa alun-alun di mana masyarakat kota biasa berkumpul, menghabiskan waktu luangnya untuk berekreasi bisa dalam bentuk ‘city park’ atau taman kota, kadang sering disebut square, plaza, mall atau istilah lainnya. Yang jelas tempat tersebut merupakan ruang terbuka kota, berada di pusat kota, dan sebagai ruang publik. Permasalahannya, dalam perkembangan adopsi istilah yang digunakan oleh kota-kota di Indonesia oleh kaum kapital, nama seperti square, plaza, dan mall juga atrium selalu identik dengan bangunan besar tempat pusat perbelanjaan. Pengunjung alun-alun yang seharusnya melakukan rekreasi “out door”, setelah berubah jadi taman (yang ukurannya kecil saja) dan shopping center (yang maha besar) maka berubah pola lakunya menjadi rekreasi belanja. Bahaya sekali, karena menjadikan masyarakat bersifat konsumtif.

Salah persepsi di atas seringkali berdampak pada salah kaprah bagi pengambil keputusan. Entah karena ketidak pahamannya, atau malah memanfaatkan ketidaktahuannya, menjadi perubahan istilah alun-alun menjadi taman kota, maka fisik alun-alun harus diubah menjadi pola landscaping ke barat-baratan. Tanaman dan pohon peneduh yang sangat sesuai untuk kota-kota tropis yang panas, tiba-tiba ditebang diganti dengan hamparan bunga dengan ukuran yang serba tanggung, pot-pot tanaman yang beraneka ragam tanpa tema, atau bak-bak tanaman yang asal-asalan justru mengundang perilaku vandalisme. Desain demikian akan menuntut pemeliharaan yang intensif, biaya yang tinggi karena tanaman bunga semusim harus selalu diganti setelah tanaman berbunga tersebut mati. Taman serupa demikian sangat cocok di negara yang memiliki empat musim, di mana setiap musimnya sangat ekstrim dan memerlukan jenis tanaman yang berbeda pada musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Tapi kota-kota di Indonesia, sebenarnya kebanggaannya adalah evergreen, taman yang teduh ijo-royo-royo. Jika mau bermain dengan warna, maka gunakanlah permainan warna daun seperti puring, hanjuang merah, kol banda, dan tanaman berbunga yang bersifat tahunan.

Akan lebih konyol lagi, manakala alun-alun diganti nama dengan taman kota maka struktur hamparan rumput diganti dengan hamparan perkerasan, pavement. Seringkali kolega saya dari Amerika atau Negara Eropa yang keliling kota di Indonesia menanyakan ‘apakah di negeri tropis ini begitu banyaknya sponsor industri keramik atau industri concrete block? karena pavement dari bahan keramik terutamanya, akan memantulkan panas, silau, licin waktu hujan, dan tidak bisa menyerapkan air hujan ke dalam tanah secara langsung. Ketidak hati-hatian dalam membuat desain, malah menyebabkan kondisi lingkungan lebih buruk. Taman tersebut menjadi perangkap panas, menggelontorkan air, dan meningkatkan stress bagi penghuni kota.

PERUNTUKAN LAHAN IDEAL UNTUK TAMAN KOTA

Ruang terbuka hijau (RTH), salah satunya dalam bentuk taman kota, yaitu taman yang mampu mengakomodasikan kebutuhan rekreasi masyarakat yang ada dalam kota itu sendiri. Taman-taman kota di Cirebon, selayaknya dapat mengakomodir kebutuhan rekreasi masyarakat Cirebon. Bukan untuk turis dari luar kota, atau dari luar negeri. Akan tetapi karena keunikannya, lalu taman kota tersebut menjadi terkenal, lain lagi perkaranya. Misalnya Central Park di New York dengan luas lebih dari 300 ha. Dulu dirancang sebagai taman kota oleh desainernya, Olmsted. Lalu menjadi landmark, dan terkenal di seluruh dunia.

Kota Cirebon yang terletak di tepi pantai, dengan iklim mikro yang relatif panas dan lembab. Saya yakin selayaknya menambah luasan ruang terbuka hijaunya. Apalagi dengan adanya UU No 26 tahun 2007 yang menyebutkan RTH kota sekurang-kurangnya 30%. RTH ini dapat memberikan jasa lanskap mulai untuk ameliorasi suhu udara, menyerap Carbon dan polutan udara lainnya, melindungi tata tanah dan tata air, mengkonservasi keanekaragaman hayati flora dan fauna karena bisa menjadi habitat satwa liar (wildlife) seperti beragam burung, mamalia serupa tupai, kalong, kelelawar, juga bisa beragam kupu, capung, atau kunang-kunang, serta memperindah lingkungan (landscape beautification).

Penambahan RTH ini salah satunya dengan membangun taman kota. Tapi sangat sayang, jika taman kota yang dibangun harus dikonversi dari alun-alun yang sudah mantap. Sebaiknya untuk taman kota, bisa mengevaluasi lahan lain yang potensial seperti lahan tidur di pinggiran kota, bantaran sungai atau tepian pantai. Dengan kajian evaluasi lahan yang tepat, desain taman yang cerdas, kota Cirebon seharusnya bisa membuat taman-taman kotanya untuk mengukuhkan diri, Cirebon sebagai WATER FRONT CITY.

Taman kota yang sejuk dengan pilihan jenis formasi tanaman/pohon pantai, disediakan taman bermain, fasilitas rekreasi olah raga, tempat jalan-jalan di pagi hari, sore hari atau pun malam hari. Taman ini selain memenuhi sebagai ruang terbuka hijau kota, juga menyediakan lagoon, situ, kolam besar sebagai ruang terbuka biru. Ruang terbuka biru selain untuk pendinginan kota, juga berperan sebagai embung. Embung ini bisa meresapkan air ke dalam tanah, sehingga Cirebon tidak kekeringan di musim hujan. Sebaliknya di musim kemarau, embung ini bisa meresapkan air ke dalam tanah, sehingga Cirebon tidak kekeringan.

LESTARIKAN LANSKAP BERSEJARAH DI CIREBON

Alun-alun Kejaksan adalah tapak atau lanskap yang memiliki nilai histori. Bahwa alun-alun ini dibangun pada periode dahulu yang telah melalui perkembangan pemerintahan kota dari masa-ke-masa. Perannya sebagai ruang publik, tidak dipungkiri mulai dari nilai pendidikan, nilai ekologi, nilai ekonomi, nilai religi, nilai sosial, budaya, bahkan politik. Tidak ada alasan untuk mengubahnya. Malah alun-alun Kejaksaan selayaknya dipertahankan utuh. Setuju ditingkatkan fungsinya bagi publik Tetap bisa untuk tempat berolah raga bagi masyarakat kota maupun siswa sekolah terdekat. Tetap bisa untuk tempat bal-balan di sore hari, latihan baris-berbaris, main drumband, tetap menjadi lapangan upacara hari-hari besar. Tetap menjadi hamparan solat Ied. Semua rakyat kota Cirebon akan mendukung jika kebersihan alun-alun ditingkatkan. Kebersihan alun-alun, kebersihan kota, adalah gambaran wajah pemimpinnya juga gambaran wajah penghuni kotanya.

Kita semua sepakat jika pepohonan di tepian alun-alun dirapatkan agar lebih teduh dengan memperhatikan syarat desain dan serta jarak tanam yang ideal. Alun-alun Kejaksaan wajib dipelihara kelestariannya oleh segenap warga kota Cirebon. Alun-alun Kejaksaan bisa dijadikan landmark, tetenger kota yang harus tetap ada hingga masa mendatang. Dari jauh di Bogor, sambil menulis saya rindu kota Cirebon. Terlintas kenangan manis pada tahun 1978, saat upacara 17 Agustus saya berdiri di atas podium di tengah alun-alun Kejaksaan menjadi conductor obade/paduan suara siswa se-Cirebon menyayikan lagu-lagu wajib diiringi koorsik ABRI. Lestarilah alun-alun Kejaksan, lestarilah kota Cirebon tercinta. (*)

*) Penulis adalah Guru Besar 
Bidang Manajemen Lanskap, 
Departemen Arsitektur Lanskap, 
Fakultas Pertanian, IPB /
Alumni SMAN I Cirebon 1979
Labels: alun alun kejaksan, alun-alun cirebon, cirebon

Thanks for reading Alun-alun dan Taman Kota. Please share...!

2 komentar on Alun-alun dan Taman Kota

  1. Thank Yan....for uploading the article in your website. Warmest regards from Bogor :-)

    BalasHapus
  2. Hi Ded, thank you so much for thinking of Cirebon, especially Alun-alun Kejaksan.

    BalasHapus

Back To Top