Memperdaya Budaya Cirebon


Memperdaya Budaya Cirebon. Bila diperhatikan secara lebih mendalam, teliti, dan hati-hati, ternyata niat mulia untuk memberdayakan budaya hanya muncul dipermukaan sebagai wacana. Disadari atau tidak, fakta implementasinya nyaris tak berdampak apa-apa. Tengoklah nasib kesenian/budaya tradisional Cirebon yang hingga hari ini seakan sudah tak berdaya, karena terperdaya.

Daya dorong pemerintah dan DPRD dalam upaya melestarikan budaya, bukannya tidak ada. Sejumlah anggaran, pikiran, dan tenaga telah tercurahkan. Setiap pergantian wali kota dan anggota dewan, masalah budaya atau kebudayaan memperoleh perhatian yang tinggi. Hanya saja bila dilihat secara nyata tingkat keberhasilannya belumlah apa-apa. Hampir semua para pelaku seni yang menjadi instrument penting sebagai bagian dari keluhuran budaya, kini tak bertenaga. Bila demikian adanya, apa yang bisa diharapkan dari masyarakatnya?

Alih-alih ingin memberdayakan budaya, eh yang terjadi malah memperdaya budaya. Kesan demikian melekat lantaran kondisi budaya Cirebon nyatanya termehek-mehek. Sudah saatnya kita harus berani berkata, berpikir, berasa, dan bersikap jujur dalam menganalisa kemacetan perkembangan budaya.
Kata budaya yang berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Artinya, bila terjadi kesemrawutan dalam hal mengurus budaya atau kebudayaan, hal sebenarnya yang terjadi adalah terjadinya kekacauan yang berkaitan dengan akal dan budi kita. Namun saya harus tetap percaya bahwa sejatinya akal dan budi kita sangat bersungguh-sungguh dalam mengurus budaya. Sayangnya warna-warni kisah kehidupan selalu saja dilengkapi atau disempurnakan dengan ketidaksempurnaan melalui munculnya tokoh baik dan tokoh jahat.

Edward B. Tylor menafsirkan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Kompleksitas kebudayaan inilah yang seharusnya secara serentak memerlukan perbaikan mutlak. Bila kita urai, misalnya tentang kata kepercayaan seolah bergerak liar berubah makna menjadi ketidakpercayaan. Siapa mau percaya siapa, sungguh membingungkan lantaran dalam prakteknya terlalu banyak contoh yang seharusnya jadi panutan, malah melakukan hal-hal memalukan.

Krisis kepercayaan pun menebar kemana-mana. Demikian halnya tentang moral, hukum, adat istiadat banyak yang sudah berbelok tak menentu arahnya. Masalah pengetahuan dan ilmu yang semestinya diterapkan secara berbudaya menggunakan pertimbangan akal budi, telah tertutupi kabut kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri. Pembengkokkan logika seolah lumrah adanya. Obral janji kesana-kemari jadi santapan sehari-hari. Kata kebenaran pun tertatih-tatih untuk bisa berdiri tegak lantaran penafsiran definisinya mulai bergeser, misalnya yang benar adalah yang lebih banyak, yang benar adalah yang lebih kuat dsb.

Rasanya tak mengherankan bila kemudian yang terjadi adalah kesalahan demi kesalahan dalam mengurus kebudayaan. Dan yang tak mengherankan lagi adalah mengulang-ulang kesalahan yang serupa. Yang lebih tak mengherankan lagi adalah masalah kurangnya anggaran. Minimnya dana untuk biaya budaya selalu menjadi hal yang paling gampang dikambinghitamkan. Ketidaktepatan pemberdayaan pun perlu dipikirkan ulang agar jangan sampai keliru manakala bermaksud memberdayakan budaya malah memperdayakan budaya.

Memberdayakan dan memperdayakan jelas memiliki makna yang berbeda. Memberdayakan seharusnya memberi efek membuat jadi lebih berdaya, berkekuatan, bertenaga. Meperdayakan berakibat sebaliknya, yakni berdampak menjadi membuat lesu, lemah, loyo. Siratan yang tersurat dari kata memberdayakan dan memperdayakan adalah keduanya bersifat abstrak. Keduanya memiliki daya perubahan yang bertolak belakang. Memberdayakan bisa menimbulkan anugerah, sedangkan memperdayakan berakibat musibah.

Kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Terpatri didalamnya bahwa kebudayaan akan mempengaruhi tingkat ilmu dan pengetahuan. Berbagai gagasan menuju kemuliaan sepatutnya tercermin dalam perilaku kehidupan keseharian. Masuknya suatu kebudayaan dari luar Cirebon atau dari luar negeri secara damai (penetration pasifique) tak bisa serta-merta disalahkan. Benturan budaya bisa terjadi dimana saja, kapan saja, dan pada siapa saja karena sejatinya kita pun berhasrat mengekspornya.

Andai kita berbulat tekad menggeliatkan kembali budaya atau kebudayaan, masih terbuka kesempatan. Luruskan hati, teguhkan arah, ikhlaskan niat untuk membela budaya agar terlestarikan. Membela berarti ada keberpihakkan. Kita berpihak pada budaya atau kebudayaan yang masih urip ning tanah Cerbon. Bisa memulai dari hal-hal yang nampaknya sepele, semisal nanggap kesenian tradisional bila melakukan pernikahan atau sunatan. Bila dilakukan oleh orang-orang yang berada di lingkungan pemerintahan atau dewan, ini akan sangat membanggakan. Masyarakat tinggal mencontoh dan mengikuti keteladanan. Setiap pentas kesenian (band, dsb) yang dilaksanakan secara terbuka diminta untuk juga menampilkan budaya atau kesenian tradisional walau hanya lima sampai lima belas menit sebagai pembuka. Seniman bisa jajan dan berganti seragam. Pemberdayaan pun berjalan, memperdayakan pun terperdayakan.

Bila malas menggerakkan hal demikian, dimana budaya atau kebudayaan tak mengarah pada pementasan dan pengentasan, maka yang sesungguhnya terjadi adalah kita telah mengakali diri sendiri secara berjamaah. Mungkin lantaran terbiasa memperdayai orang-orang di sekitar kita, pada akhirnya menjadi tak terasa pada saat yang sama sebenarnya kitalah yang memperdayai diri sendiri.

Sebagai makhluk yang dikaruniai akal budi, seyogyanya kita harus mampu meraih kembali kebangkitan kesenian tradisional Cirebon. Modal dasar begitu banyak bergeletakkan. Sedemikian banyak seniman, beragam bentuk kesenian dan kerajinan merana hanya karena ketidakrajinan berkesungguhan. Penanaman investasi budaya yang digelar dalam Ganjene Cerbon jangan sampai terlupakan. Perlu segera pemetaan arah gerakan yang menghubungkan atau menjembatani dunia budaya yang masih maya dengan dunia industri yang nyata. Peran pemerintah dan wakil rakyat dalam mengawinkan keduanya sangat dibutuhkan. Akal budi menjadi pertaruhan ketika curahan pikiran, tenaga, dan anggaran hasilnya tidak sepadan!
Labels: budaya cirebon, cirebon

Thanks for reading Memperdaya Budaya Cirebon. Please share...!

0 Komentar untuk "Memperdaya Budaya Cirebon"

Back To Top